SEJARAH PERADABAN ISLAM

0

| Posted in , | Posted on Rabu, Januari 12, 2011

            Kata peradaban (al-hadharat, civilisation) seringkali didentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Dalam bahasa Arab, selain disebut sebagai al- hadharat, peradaban terkadang juga disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civil society. Peradaban mencakup aspek material maupun immaterial. Aspek material dicontohkan oleh piramida dan patung Spinx Mesir, istana Al-Hamra, kastil Eropa abad pertengahan, atau gedung WTC yang telah runtuh, sementara aspek immaterial dicontohkan oleh ajaran Islam, ajaran Budha, filsafat Yunani, konfusianisme, kapitalisme, atau sosialisme.
Manusia adalah makhluk yang berakal (al-hayawan al nathiq), sehingga ia mampu berpikir secara progresif dalam membentuk peradabannya. Manusia telah bergerak secara progresif dari jaman batu ke jaman logam, sampai akhirnya ke jaman silikon. Setiap jaman dimana manusia hidup mesti memiliki peradabannya sendiri-sendiri. Kecanggihan peradaban tidaklah bisa dinilai secara absolut. Suatu peradaban manusia bisa jadi sangat canggih pada masanya, namun ternyata dinilai kuno oleh generasi sesudahnya. Demikianlah seterusnya, baik dalam aspek material maupun immaterial. Dalam aspek material, kaum Aad, kaum tsanud, dan bangsa mesir Fir’aun telah mampu membangun gedung-gedung tinggi dan kokoh, sebagaimana manusia saat ini telah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit. Dalam aspek immaterial, setiap generasi telah menciptakan sistem filsafat dan pemikirannya sendiri-sendiri, tanpa bisa diklaim bahwa yang muncul belakangan lebih canggih daripada yang sebelumnya, sebagaimana diyakini oleh Hegel dengan konsep filsafat sejarahnya.
Sejauh yang dicata oleh sejarah, kebudayaan atau peradaban besar telah muncul di Cina, India, Babilonia, Mesopotamia, Yunani, Inka, Persia, Romawi, Arab, dan Eropa. Jadi, peradaban besar telah muncul baik di timur (Cina, India, Babilonia,Mesopotamia, Persia, dan Arab) maupun di barat (Yunani, Inka, Eropa). Dalam perkembangan peradaban, suatu fenomena yang perlu dihadapi dengan serius ialah benturan peradaban (clash of civilisation, istilah yang dipopulerkan oleh Huntington).
Dalam segi peradaban umat manusia, Islam telahhadir lengkap dengan nilai-nilai universalnya, dalam upaya memberikan pencerahan terhadap umat manusia pada kurun waktu yang panjang, yakni mulai dari jaman Rasulullah SAW sampai sekarang dan pada area yang sangat luas mulai dari Mekkah sampai hampir seluruh belahan dunia. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Islam seringkali mengalami pasang surut, baik dalam bidang keilmuan, sosial budaya, agama, ekonomi, dan politk khususnya menyangkut masalah kekuasaan. Di dalam memahami sejarah peradaban Islam, perlu mengetahui pembabakan
berdasarkan periodesasi historis, yaitu : periode klasik dan modern.
A. PERIODE KLASIK
Merupakan awal pembabakan peradaban Islam. Periode ini dimulai ketika Rasulullah
SAW diangkat menjadi rasul. Dalam periode ini terdapat tiga fase penting, yaitu :
1)Fase penciptaan komunitas baru sebagai hasil transformasi nilai-nilai Islam yang semula
berbentuk kesukuan menjadi masyarakat bercorak Islam.
Dalam fase ini embrio format negara Islam berkembang sejak Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pada masa ini terjadi banyak pengembangan sekaligus perubahan baik dalam bidang sosial kemasyarakatan, ekonomi dan terutama bidang politik. Pada masa ini pula embrio kegemilangan ilmu pengetahuan dan sastra Islam yang terinspirasi dari Al Qur’an serta seni arsitektur muncul, seperti adanya ijtihad hukum syariah pada masa Umar dan pembukuan Al Qur’an pada masa Utsman yang bersamaan dengan munculnya ilmu-ilmu kebahasaan dan bacaan al qur’an.
2)Fase dimana nilai-nilai Islam dijadikan sebagai dasar istitusi kenegaraan dan elit
perkotaan.
Dalam fase ini, nilai-nilai islam mengandung ajaran utama sebagai syariah yang yang berperan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran dalam Islam
3)Fase ini yaitu peranan masyarakat Islam dalam mengubah mayoritas masyarakat Timur
Tengah menjadi komunitas yang kokoh berlandaskan monotheistik.
Ciri yang paling menonjol di dalam fase ketiga ini adalah terjadinya ekspansi kekuasaan Bani Umayyah yang meliputi Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah sampai ke perbatasan Tiongkok. Dalam catatan sejarah, keberhasilan ini melebihi kekuasaan yang dicapai Romawi pada masa kejayaannya.
Sejarah perkembangan Islam, termasuk di dalamnya norma, doktrin, dan peradaban masyarakatnya, sesungguhnya tidak berkembang mandiri, linier, dan normatif melainkan berliku-liku dan tidak lepas dari kondisi sosial politik yang mengitarinya. Oleh karena itu pembahasan terhadap Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks ini. Berikut adalah realitas dinamika-dinamika perkembangan Islam :
1.       MASA KHULAFAH AR RASYIDIN
Masa ini adalah masa dimana Abu Bakar berkuasa tahun 632 – 634 M. Pemerintahan Abu Bakar yang singkat habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan ole suku-suku Arab yang tidak mau tunduk pada Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dilakukan hanya dengan Rasulullah SAW, sehingga secara otomatis batal dengan meninggalnya Rasulullah SAW. Abu Bakar menyelesaikan ini dengan perang riddah, yang artinya melawan kemurtadan. Pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar mengikuti apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bersifat sentralistik, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.
Kemudian Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab yang berkuasa tahun 634 – 644 M. Masa ini ekspansi Islam pertama kali terjadi. Syiria, Palestina, dan sebagian besar Persia dan Mesir jatuh dalam kekuasaan Islam. Luasnya wilayah kekuasaan memaksa Umar untuk membangun sistem pemerintahan dan administrasi, yang dibagi menjadi delapan propinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Tidak hanya itu saja, departemen-departemen di tingkat pusat pun dibentuk, seperti keuangan, pekerjaan umum, dan pengadilan. Umar yang menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin (komandan orang beriman)juga membentuk bait al-mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun hijriah, menerapkan sistem gaji dan pajak tanah. Dalam bidang hukum, untuk pertama kalinya sistem ghanimah (pembagian harta rampasan perang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan sunnah) tidak diberlakukan dan diganti dengan sistem gaji.
Utsman bin Affan yang berkuasa setelah Umar dipilih dengan sistem formatur yang terdiri dari enam orang diantaranya Utsman Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Dalam keilmuan, Utsman yang pertama kali membakukan sistem pembacaan Al Qur’an yang mulai berbeda-beda saat itu sesuai dialek wilayah masing-masing.
Akan tetapi, setelah itu, Utsman tampak mulai tidak dapat mengendalikan ambisi politik keluarganya (Bani Umayyah) dan menganggap mereka sebagai pejabat-pejabat penting dan ‘basah’. Parahnya, Utsman juga mengklaim diri sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) bukan khalifah al-nabi sebagaimana Abu Bakar, sehingga memberi kesan diktator dan berkuasa penuh. Perubahan politik Utsman inikemudian menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan sahabat dan kebanyakan masyarakat, sehingga melahirkan pemberontakan dan berpuncak pada terbunuhnya Utsman.
Ali bin Abi Thalib yang dibaiat setelah Utsman berkuasa tahun 655 – 660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai warisan dari sistem sebelumya dan dampak kebijakan radikal yang diterapkan Ali. Ali memecat para gubernur yang diangkat Utsman, menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan mengembalikannya kepada negara, menerapkan sistem pajak tahunan, dan menghilangkan tunjangan sahabat. Gejolak pertama adalah pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua pemberontakan ini memberikan dampak teologis yang serius. Ketika Aisyah bertempur melawan Ali, sebagian shahabat seperti Abd Allah bin Umar tidak dapat mengambil sikap dan menyerahkan keputusannya kepada Allah, karena keduanya adalah keluarga Nabi. Aisyah adalah istri Nabi yang berarti ummul al-mukminin (ibunya orang mukmin) sedang Ali adalah menantu dan orang yang sangat dekat dengan Nabi. Sikap abstain sebagian sahabat inilah yang kemudian berkembang menjadi Murjiah. Sementara itu, pertempuran Ali melawan Muawiyah melahirkan tiga aliran teologi besar dalam Islam
Mereka yang membela Ali kemudian menjadi Syiah, yang mendukung Muawiyah menjadi
Jama’ah atau Sunni, sedang yang tidak puas dengan keduanya menjadi Khawarij.

2.       MASA PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH
Pemerintahan Bani Umaiyah berlangsung sekitar 90 tahun, tahun 661-750 M, berpusat di Damaskus, Syiria. Pada masa ini, ekspansi dan penaklukan wilayah dilakukan secara besar- besaran. Muawiyah sebagai khalifah pertama ingin menyaingi Persia dan Romawi, dua negara adidaya saat itu. Ia melakukan penaklukan ke timur sampai Kabul, Afganistan, ke utara sampai Konstantinopel, Bizantium. Abd al-Malik, penggantinya, meneruskan serangan ke timur sampai India dan Maltan, ke barat sampai Maroko dan Spanyol. Dengan keberhasilan ini, wilayah kekuasaan Islam menjadi sangat luar biasa luas. Membentang mulai dari Spanyol di Eropa, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, Asia Tengah, Asia selatan sampai India.
Selain ekspansi wilayah, Bani Umayyah juga berhasil membangun kebudayaan dan peradaban. Muawiyah mendirikan dinas pos lengkap dengan kuda dan peralatannya, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang dan menjadikan hakim (qadli) sebagai jabatan profesi. Abd al-Malik, khalifah penggantinya, mencetak uang sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan, dan mendirikan panti orang cacat. Umar ibn Abd al-Aziz, penggantinya, menetapkan al-Muwatha’ karya Imam Malik sebagai KUHP di wilayah Islam.
Perubahan menonjol dalam bidang politik pada masa Bani Umayyah adalah pola sistem pemerintahan yang manganut paham monarki heridetis (kerajaan turun-temurun) dari Persia dan Kekaisaran Byzantium, padahal sebelumnya menganut faham musyawarah demokratis. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, struktur masyarakat dan keanggotaannya berbeda dengan jaman Rasulullah SAW. Jika pada jaman Rasulullah SAW, keanggotaan masyarakat berdasarkan religiusitas yaitu muslim dan non muslim, sedangkan pada masa ini Muawiyah menerapkan system strata sosial yang berbeda dikalangan masyarakat. Ada 4 strata sosial yang dikenal saat itu, yaitu muslim arab, muslim non arab (mawalî), non muslim dan budak. Muawiyah dan para penerusnya menghidupkan kembali apa yang berusaha dihilangkan oleh Islam dan Nabi, yaitu sistem budak sebagai dampak tidak langsung adanya penaklukan- penaklukan. Mereka juga mendahulukan muslim arab untuk jabatan-jabatan di pemerintahan dibanding kalompok lainnya, sehingga muslim non arab merasa di nomorduakan. Diskriminasi sosial ini kemudian memunculkan ketidakpuasan dan pemberontakan yang berpuncak pada tergulingkannya dinasti Muawiyah. Khalifah al-Walid II (743-744 M) juga memisahkan tempat pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Meski awalnya hanya pemisahan tempat pertemuan, tetapi kemudian berkembang menjadi pemisahan peran-peran publik dan lainnya yang pada akhirnya melahirkan adanya diskriminasi dan bias gender di kalangan masyarakat muslim seperti yang kita lihat sekarang. Pada masa ini pula, terjadi gerakan Arabisme, maksudnya penguasa Daulah berambisi membangun bangsa Arab sekaligus masyarakat muslim. Usaha yang ditempuh antara lain membuat akte kelahiran berbangsa Arab bagi masyarakat di tanah taklukkan dan mewajibkan berbahasa Arab,
termasuk menyalin peraturan-peraturan tertulis dengan bahasa Arab.
Hal serupa ketika kekuasaan Daulah Umayyah pindah ke bagian Eropa Timur Andalusia (cordova). Anggota masyarakat pada masa ini lebih majemuk dibanding struktur masyarakat pada masa sebelumnya, yang terdiri dari bangsa Arab, penduduk asli Spanyol, kaum Barbar, Yahudi, dan golongan Slavia. Pada pemerintahan ad-Dakhil banyak didirikan istana-istana lengkap dengan taman dan kolam serta tak ketinggalan pula masjid.
3.       MASA PEMERINTAHAN BANI ABBAS
Bani Abbas berkuasa sekitar 500 tahun, tahun 750-1258 M, berkedudukan di Baghdad, Iraq. Masa ini tidak ada lagi ekspansi dan penaklukan wilayah. Sebaliknya, wilayah luas yang diwarisi Bani Abbas dari Bani Umaiyah justru lepas satu per satu, sehingga muncul tiga kerajaan Islam besar secara bersamaan, yaitu Bani Abbas di Baghdad, Bani Fathimiyah di Mesir, dan kerajaan Islam di Spanyol.
Bani Abbas, secara politis, melanjutkan tradisi Bani Umaiyah, memakai gelar khalifah dalam arti pengganti Tuhan dan system turun temurun. Kata-kata al-Mansur yang terkenal adalah “innamâ ana Sulthân Allah fî ardlihi” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Allah di bumi-Nya). Artinya, kekuasaannya adalah mandat Tuhan, bukan dari Nabi atau manusia. Selain itu, mereka menguatkannya dengan “gelar tahta”. “al-Manshur” adalah gelar tahta dari Abu Jakfar, dan gelar ini lebih terkenal dari namanya sendiri. Ini sama dengan gelar-gelar Sultan di Jawa, seperti Hamengkubuwano, yang lebih dikenal daripada nama aslinya. Secara sosial, Bani Abbas juga melakukan pembedaan strata sosial. Bedanya, bukan muslim arab dengan lainnya seperti Bani Umaiyah, tetapi Turki dan non-Turki. Secara umum, para khalifah Bani Abbas lebih dekat dan mengandalkan bangsa Turki daripada bangsa lainnya, sehingga melahirkan kecemburuan dan gejolak. Untuk memenuhi jalannya roda pemerintahan, untuk pertama kalinya Bani Abbas memperkenalkan jabatan wazir sebagai koordinator departemen, memperluas wewenang dinas pos, dan membentuk tentara professional; tiga hal yang tidak dikenal pada masa sebelumnya.
Sumbangan utama Bani Abbas dalam sejarah peradaban Islam, berbeda dengan Bani Umayyah yang lebih mengedepankan aspek politik, adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum, kebanyakan khalifah Bani Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberikan dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (811-833 M) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh penggantinya, Harun al-Rasyid, dengan didirikannya Bait al-Hikmah, perpustakaan besar dan pusat penelitian. Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam. Pada masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam Fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Pasca jatuhnya dinasti Bani Abbas di Baghdad oleh tentara Mongol tahun 1258 M, peradaban Islam dititipkan pada tiga kerajaan besar, yaitu pertama, Kerajaan Turki Utsmani (1300). Kedua, Kerajaan Mongol di India (1526 – 1857). Dan ketiga, Safawi di Persia (Iran) (1501 – 1732) yang sebelah selatan jatuh di tangan Rusia dan sebelah utara jatuh di tangan Turki Utsmani.
Dengan tamatnya ketiga kerajaan Islam ini, berarti keberadaan Islam sebagai institusi negara telah habis selanjutnya Islam diambil alih oleh kerajaan-kerajaan kecil yang tidak punya pengaruh kuat dalam menciptakan peradaban Islam seperti sebelumnya. Bahkan setelah ada campur tangan bangsa-bangsa Eropa banyak kerajaan-kerajaan tersebut yang berubah menjadi negara kesatuan yang secara politis tidak membawa bendera Islam. Kedatangan imperialisme Eropa mengakibatkan peradaban imperium Islam secara umum merosot, karena terjadi kekacauan dan konflik internal keagamaan, kemunduran ekonomi dan kebangkitan ekonomi dan teknologi bangsa Eropa. Kondisi ini mendorong beberapa kelompok muslim mengadakan pembaharuan melalui gerakan-gerakan modernisasi. Pengaruh dan kekuatan Eropa pada masing-masing wilayah berbeda sehingga pada gilirannya melahirkan keragaman tipe masyarakat Islam kontemporer. Ciri menonjol dalam perkembangan peradaban masyarakat Islam periode ini adalah peradaban yang merupakan produk interaksi antar masyarakat Islam regional dengan pengaruh Eropa.
B. PERIODE MODERN
Periode transformasi modern peradaban Islam secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga fase, dan sekaligus memperlihatkan beberapa gambaran umum yang berlaku di seluruh kawasan muslim, di antaranya :
1)Fase pertama, merupakan periode antara akhir abad 18 sampai awal abad 20, yang
ditandai dengan hancurnya sistem kenegaraan muslim dan dominasi teritorial dan komersial Eropa. Dalam fase ini elit politik, agama, dan kesukuan masyarakat muslim berusaha menetapkan pendekatan keagamaan dan ideologi baru bagi perkembangan internal masyarakat mereka.
2)Fase kedua, yaitu fase pembentukan nasional yang berlangsung setelah Perang Dunia I
sampai pertengahan abad 20. Dalam fase ini kalangan elit negeri-negeri muslim berusaha membawakan identitas politik modern terhadap masyarakat mereka dan berusaha memprakarsai pengembangan ekonomi serta perubahan nasional.
3)Fase ketiga, ialah fase konsolidasi negara-negara nasional di seluruh kawasan muslim.
Fase yang berlangsung pasca Perang Dunia II ini ditandai dengan pertentangan antara kecenderungan terhadap perkembangan yang tengah berlangsung dan peran utama Islam.
Sangat penting mempelajari sejarah dakwah Islam di Indonesia. Sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 111 bahwa mempelajari sejarah tedapat ibrah (pelajaran). Dengan mempelajari sejarah di masa lampau, kita dapat mengambil pelajaran untuk masa yang akan datang, membuat perencanaan atau konsep yang lebih baik khususnya untuk dakwah di tanah air kita, Indonesia. Sesuai dengan hadist Rasulullah SAW “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Bahasa merupakan nilai tertinggi dari dari suatu peradaban. Suatu bangsa dipengaruhi nilai tertentu jika bahasanya dipengaruhi oleh nilai tersebut. Bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab ( bahasa Al Qur’an) contohnya kata ibarat yang kata dasarnya dari ibrah ini yang bermakna pelajaran dan masih banyak lagi bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Ini membuktikan bahwa budaya Indonesia sudah dipengaruhi oleh budaya Islami.Secara umum, terdapat tiga teori besar tentang asal-usul penyebaran Islam di Indonesia,
yaitu teori Gujarat, teori Mekkah, dan teori Persia. Ketiga teori tersebut memberikan jawaban tentang permasalahan waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara, dan tentang pelak penyebar atau pembawa agama Islam ke nusantara. Berikut ini adalah penjelasa teori-teori tersebut :
a) TEORI GUJARAT
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada awal abad 13
M dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah :
• Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebarannya
ke Indonesia.
• Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur tengah – Eropa.
• Adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim, dan Bernard HM Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya Kerajaan Samudera Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venezia (Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
b) TEORI MEKKAH
Teori ini merupakan tepri baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama, yaitu teori Gujarat. Teori Mekkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 M dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah :
• Pada abad 7 M yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapar
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad 4 M. Hal ini sesuai dengan
berita Cina.
• Kerajaan Samudera Pasai menganut aliran mazhab syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat adalah penganut mazhab Hanafi.
• Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar Al Malik, yaitu gelar yang berasal
dari Mesir
Pendukung teori Mekkah ini adalah Hamka, Van Leur, dan TW Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa pada abad 13 M sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya Islam ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya, yaitu pada abad 7 M dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
c) TEORI PERSIA
Teori ini ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Indonesia seperti :
• Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein (cucu Rasulullah SAW), yang sangat dijunjung oleh orang Syiah/ Islam Iran. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan dipulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur syuro.
• Kesamaan ajaran sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Iran yaitu Al
Hallaj.
• Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-
tanda bunyi harakat.
• Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
• Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan PA Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahan. Maka berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad 7 M dan mengalami perkembangan pada abad 13 M. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, Persia, da Gujarat (India).
Selanjutnya, sejarah masuknya Islam ke Indonesia bisa dilihat melalui babak-babak
penting, yaitu :
1) Babak pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah) Pada abad 7 M, Islam sudah sampai ke nusantara. Para Da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa Gujarat dan bangsa Cina melalui jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah ke pesisir-pesisir nusantara. Islam pertama-tama disebarkan di nusantara, dari komunitas- komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota- kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternate dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian timur yang wilayahnya sampai ke Papua.
2) Babak kedua, abad 13 masehi
Di abad 13 M berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru nusantara. Di abad yang sama ada fenomena yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Indonesia. Wali Songo berdakwah atau melakukan proses Islamisasi melalui saluran-saluran :
a)Perdagangan
b)Pernikahan
c)Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi khasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai- nilai Islam.
d)Seni dan budaya
Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat Jawa pada khususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT dengan dimasukkannya
tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Para Wali juga mengubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai- nilai Islam.
e)Tasawuf
Kenyataan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan
penyebaran agama Islam.
3) Babak ketiga, masa penjajahan Belanda
Pada abad 17 M tepatnya pada tahun 1601 datanglah kerajaan Hindi Belanda
ke daerah nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, yakni VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindi Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerjasama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliyatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi tumbuh dan berkembangnya di abad 13 M menjadi kekuatan perlawanan melawan penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama- ulama menggelorakan jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda.
Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi :
Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah belah atau
mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya Perang Padri
di Sumatera Barat dan perang Diponegoro do Jawa.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang
Guru Besar ke-Indonesia-an di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintah Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintah Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan perjuangan terhadap penjajahan.
4) Babak keempat, abad 20 masehi
Awal abad 20 M, penjajahan Belanda mulai melakukan politik etis atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialisasikan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al Qur’an dan Hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan unutk lapisan birokrasi yang tidak mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda.Yang mendapat pendidikan pun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu para pemimpin-pemimpin pergerakan adalah yang berasal dari golongan bangsawan.
Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Sarikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Sarikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh Sarikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, kaum priyayi yang karena memegang maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah inspirator utama bagi pergerakan nasional di Indonesia. Sarikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Sarikat Islam yang lainnya adalah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Maselis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan umat oleh pemerintah Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan straregi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang paham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi Ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat dibodohi.
Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas unutk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjutkan dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang menjadi kotroversi dalam piagam itu yakni penghapusan “tujuh kata” lengkapnya kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5) Babak kelima, abad 20 dan 21 masehi
Pada babak ini proses dakwah (islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan gerakan-gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultral dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awal masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian, Allah SWT mentakdirkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
 Kesimpulan dan Tanggapan

Ajaran-ajaran islam  mengandung nilai-nilai islam yang memiliki peran yang sangat penting didalam mengembangkan kebudayaan islam. Disamping itu, ajaran-ajaran islam juga dapat membumikan ajaran utama ( yang sebagai syariah) sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manusia. Manusia sering dikatakan sebagai mahluk yang paling tinggi dibandingkan dengan mahluk lainnya. Tingginya harkat dan martabat manusia karena manusia mempunyai akal budi. Dengan adanya akal budilah, manusia mampu menghasilkan kebudayaan yang  membuat manusia menjadi lebih baik dan lebih maju. Dengan kebudayaan tersebut manusia memperoleh banyak kemudahan dan kesenangan hidup. Akal budi pun mampu menciptakan dan melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keseluruhan yang dihasilkan akal budi tersebut dapat dikelola untuk menghasilkan produk-produk yang dapat dimanfaatkan oleh manusia guna menuju peradaban yang modern.
Pasca jatuhnya dinasti Bani Abbas di Baghdad oleh tentara Mongol tahun 1258 M, pemikiran dan peradaban Islam sesungguhnya masih bertahan beberapa lama. Antara lain, di Spanyol, Mesir dan Syafawi di Asia Tengah. Akan tetapi, memasuki abad ke 15 M, keilmuan dan dinasti besar Islam benar-benar habis, kecuali dinasti Utsmaniyah di Turki. Masyarakat Islam menjadi sangat merosot dan sebagian besar jatuh dalam penjajahan Eropa. Karena itu, tulisan ini tidak akan memperjang uraian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa perjalanan panjang sejarah Islam tidak lepas dari pengaruh kepentingan politik, perbedaan-perbedaan paham dan ideologi, konteks kebudayaan sekitar dan seterusnya. Tidak terkecuali dalam hal ini sejarah perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan lainnya yang sekilas bersifat ideal dan normative. Karena itu, kita tidak bisa secara langsung mengambil doktrin-doktrin ajaran lepas dari koteksnya. Begitu pula, kita tidak bisa membaca teks-teks keagamaan tanpa memperhatikan situasi politik dan social yang mengintarinya.